Muhammadiyah, Puritanisme, Kosmopolitanisme

Muhammadiyah, Puritanisme, Kosmopolitanisme

Buku karya Ahmad Najib Burhani ini hadir, antara lain, untuk menjelaskan secara lebih utuh identitas Muhammadiyah. Muhammadiyah sejatinya diwarnai pelbagai ideologi, teologi, dan bahkan afiliasi politik para anggota.

JUDUL
BERSAMA Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah adalah ormas keagamaan terbesar di Indonesia yang kerap dipandang paling konsisten mengetalasekan paras Islam yang ramah dan membumi. Juga, begitu telaten terus berdialektika dengan dinamika zaman serta tuntutannya yang bergerak sangat dinamis.
Boleh jadi, dengan tiga pilar utama penyangga viabilitasnya berupa pelayanan kesehatan ( healing), pendidikan ( schooling), dan pelayanan sosial ( feeding). Muhammadiyah pula satu-satunya organisasi keislaman yang berhasil memiliki 7.227 PAUD, TK, TPA, dan SD/MI; 2.915 SMP/ MTs, SMA/MA, dan SMK; 67 pesantren; 172 universitas, akademi, dan politeknik; 457 rumah sakit, klinik, dan poliklinik; serta 454 panti asuhan, rumah jompo, dan pusat rehabilitasi cacat.
Yang tak boleh luput dicatat adalah ikhtiarnya berdialog secara kritis dengan tuntutan ruang dan waktu. Upaya tersebut berhasil melahirkan arus pemikiran dan corak gerakan yang membuatnya jauh dari kesan homogen dan berwarna tunggal.
Bila kita menggunakan cara pandang esensialistik dalam menilai ormas yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912 itu, kita memang akan dengan gampang digiring pada kesan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi keislaman yang hanya menggelorakan semangat purifikasi. Juga, anti-tradisi, puritan, dan sederet ajektiva lain yang kerap tidak mengenakkan bagi para penggiatnya.
Buku karya Ahmad Najib Burhani ini hadir, antara lain, untuk menjelaskan secara lebih untuh identitas Muhammadiyah. Muhammadiyah sejatinya diwarnai pelbagai ideologi, teologi, dan bahkan afiliasi politik para anggotanya.
Dalam sekujur buku ini, doktor jebolan Universitas California, AS, itu juga dengan apik menguraikan evolusi pemaknaan ideologi puritanisme dan genealogi ”Muhammadiyah Berkemajuan”.
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami konsep ”Muhammadiyah Berkemajuan”, sejak halaman-halaman paling awal buku ini, Burhani dengan tegas menyatakan bahwa istilah ”berkemajuan” sesungguhnya telah melekat pada Muhammadiyah. Bukan saja karena secara eksplisit tercantum dalam statuten tahun 1912.
Tapi, juga karena selalu diulangulang KH Ahmad Dahlan dengan ungkapannya: dadijo kjai sing kemajoean (jadilah kiai yang maju). Hanya, konsep itu memang cukup lama lesap.
Konsep tersebut baru kembali populer pasca penerbitan catatan pribadi murid KH Ahmad Dahlan, Kiai Syuja’, dengan lima elemen pentingnya. Yakni, tauhid murni, pemahaman Alquran dan sunah yang mendalam, pelembagaan amal saleh yang fungsional-solutif dan kekinian-visioner, bersikap toleran-moderat, dan gemar bekerja sama.
Sedangkan kosmopolitanisme yang dicita-citakan adalah kesadaran warga Muhammadiyah sebagai bagian tak terpisahkan dari warga dunia. Artinya, mereka harus memiliki rasa solidaritas dan tanggung jawab kemanusiaan universal sonder pandangan berbasis afinitas primordial.
Tak terlalu mengagetkan jika Muhammadiyah kerap diletakkan dalam satu ”keranjang besar” dengan Wahabisme. Atau setidaknya dinilai mewarisi beberapa karakteristik keislaman yang saling beririsan antara satu dan lainnya.
Menurut Burhani, adalah sebuah truisme belaka memandang adanya ”kedekatan” MuhammadiyahWahabisme. Itu jika konteks pelekatan kedekatan tersebut adalah pertautan keduanya dalam praktik strict monotheism (tauhid murni). Pandangan yang pernah disebut Cak Nur sebagai pintu masuk bagi sekularisasi: pandangan yang menempatkan segala hal selain Tuhan adalah profan.
Pun saat ajektiva ”puritan” dilekatkan pada Muhammadiyah. Jika penyematannya bertitik tolak dari pandangan Weberian, seperti dilakukan James Peacock dan Clifford Geertz yang mengidentikkan Muhammadiyah sebagai model par excellent Calvinisme di dunia Islam.
Di titik inilah, sebagai upayanya menepis kesalahpahaman para peneliti dalam menilai Muhammadiyah yang sejatinya berwajah plural, dalam salah satu bagian buku ini, Burhani menjelaskan tiga pola keberagaman yang tengah berkontestasi di Muhammadiyah. Yaitu, puritan, salafis, dan progresif.
Model keberagamaan kelompok puritan pada umumnya konservatif dengan penekanan kuat pada asketisme duniawi ( worldly asceticism). Bagi mereka, perempuan boleh aktif di ruang publik (meskipun harus dipisah dari laki-laki) dan negara Islam bukanlah sesuatu yang niscaya.
Kelompok salafis, di sisi lain, memberi tekanan sangat kuat pada simbol-ritual keagamaan dan berorientasi akhirat ( other-wordly). Di kalangan salafis, perdebatan teologis tak dianjurkan.
Perempuan tercela aktif di ruang publik dan cita-cita negara Islam harus didukung. Sedangkan kaum progresif merupakan kebalikan dari salafis.
Sayang, akibat lemahnya kerja penyuntingan, kejanggalan bertebaran dalam buku ini. Asal-usul naskah buku yang semula merupakan serakan artikel yang tidak lain adalah respons penulisnya atas beragam peristiwa, betapa pun koherennya secara tematik, jelas menuntut kerja keras penyunting untuk menghindari anarkronisme maupun silap data.
Dan, penyunting gagal menunaikan tugas mulianya itu. ”Cacat” yang, bagaimanapun, tetap tidak bisa menggugurkan buku ini sebagai karya yang wajib-baca bagi siapa pun. (*)

Comments